Idea-idealy

Create and share all of ideas

EYANG

Share:

Tubuhku terasa lelah dengan perjalanan yang harus ku tempuh.Mungkin karena aku nyetir sendiri. Jalan yang ku tuju tak bisa di lalui kendaraan,aku menitipkan mobilku di kantor kelurahan.Desa ini terlalu penyendiri untuk ku bisingkan, mesti hanya dengan sebuah bisikan.
Begitulah sunyinya, hingga suara kentutpun terdengar bergema disini.Jalan setapak dengan tanah yang memerah, nyaris tertutup dengan rimbiunnya pohon kina dan alang-alang.Beberapa burung berkejaran dan bersembunyi di balik dahan pohon mahoni.Aku melihat ada kadal berbuntut patah, yang bersembunyi diantara pelepah daun pisang, daun itu  sudah mengering, warnanya coklat keabuan, menggantung tak sempurna.
Kulewati sungai kecil dengan batu-batuan yang berukuran besar.Di pinggirnya ada jamban dan celempung,  tempat orang-orang kampung mandi dan berak.Beberapa anak kecil melihatku, mereka kemudian berlari ketakuatan. Mungkin juga  malu, sambil  mengambil bajunya yang di simpan di semak-semak mereka tertawa dan berlarian ke balik pohon. Aku tersenyum. Mereka tak membalas senyumku, melainkan melambaikan tangannya tampa memperlihatkan mukanya di balik pohon.Mereka  mengucapkan selamat datang kepadaku dengan caranya sendiri.
Aku berhenti di sebuah warung yang berdindingkan bilik.Bangkunya terbuat dari bambu dengan paku-paku besar yang menancap sebagai alat penguat, agar bambu bersatu dan tidak jatuh.Jajanan pasar sederhana segera menggugah selera, ditambah betisku yang terasa berat karena perjalanan yang ku tempuh.
Mangga neng,?” Ibu setengah baya menyapaku, kain dan kebayanya Nampak bersih  dengan sanggul yang tidak sempurna.Ramah dan bersahaja.
Saya minta teh hangat ,” kataku tersenyum
Mangga, mau  kamana  neng?tanyanya
Ke rumah kakek.Sudah dekat dari sini.Dibalik bukit itu !” kataku enggan menyebutkan alamat yang jelas.Si bibi mengangguk-angguk.Dia sibuk melayani pembeli yang memesan kopi dan makanan kampung lainnya. ada kue bugis, roti kopyor, lantak juga opak dan rengginang.
Dizaman yang sudah serba delivered, penuh dengan makanan instant, dan junk food, makanan desa seperti ini, terasa istimewa di lidahku.Aroma daun-daunan yang khas berasal dari pohon rasamala, jantungku berdegup kencang.
Dulu, daun-daun ini enak untuk dijadikan lalaban, kata eyang bagus juga untuk kesehatan jantung.Usiaku masih 5 tahun saat aku menginjakan kaki kesini, dan aku tak tahu mengapa eyang bersikeras ingin tinggal di sini dan enggan balik lagi ke kota.Katanya tempat inilah yang bisa mebuat jiwanya tenang, sejuk dan nyaman.Memang betul.
Aku sudah melewati kebun singkong yang luas, perkebunan ini duu milik eyang, yang kemudian ditanami oleh siapa saja yang mau.Konon eyang memiliki 15 pegawai yang mengurus kebun singkong, pisang, jagung, kolam ikan, juga yang mengolah sawahnya.Mereka di beri upah dan dianggap saudara.Tapi sekarang hanya beberapa lahan saja yang tersisa, habis terjual untuk diberikan kepada anak-anaknya di kota dan  untuk perawatan kesehatan eyang.
Gentingnya sudah berlumut, namun rumah berhalaman luas itu tetap menghadirkan aura sejuk dan damai. Aku melangkah masuk dengan dada di penuhi rindu, sudah 15 tahun aku tak datang kesini, sejak ibuku pindah ke Bali karena tugas kerja.Dan Ayahku?Aku sudah lama tak mengingatnya, sejak dia meninggalkan ibu dan pergi dengan sekretarisnya.Rasanya akulah satu-satunya cucu yang paling durhaka di muka bumi ini.
Eyang menyambutku hangat, wajahnya sumringah dan nampak kaget dengan kedatanganku. Aku bahagia berlabuh dipelukannya.Teringat saat usiaku 5 tahun dulu, aku sering digendongnya jika ikut ke balong mengambil ikan.Padahal aku sudah bisa jalan, tapi kata Eyang, biar kakinya bersih dan tak dimasuki cacing.Sampai dikolam aku tetap turun ikut mencari ikan.Rasanya senang sekali bermain air dan lumpur dapat bonus ikan segar pula.
 Aku juga suka ikut kekebun, sambil menunggu Eyang, aku keliling kebun mencari  anggrek bulan dan babadotan untuk dijadikan mainan Masa kecilku cukup dekat dengan Eyang, karena aku sering dititipkan ibuku pada Eyang saat ibu tugas luar kota.Aku telah  menjadikan desa ini  adalah bagian dari jantungku, dan Eyang  adalah detaknya.
Eyang memelukku erat, tangan  kurus itu sulit menjangkauku karena tubuhnya kurus dan kecil. Namun pancaran cahaya matanya menandakan kebahagiaan yang tiada tara.Pancaran itu membentuk siluet pada bayangan renta disampingnya, seolah memahami bahwa pertemuan ini adalah pertemuan bathin tidak hanya sekedar wujud.Pertemuan ini adalah pertemuan sacral yang di saksilkan alam.Pertemuan istimewa.
Raut mukanya demikian unik dengan mata yang berkantung hitam.Tak ada gejolak pada mata itu tinggal semangat yang hampir meredup.Mungkin karena usianya yang hampir 100 tahun atau sosoknya yang demikian renta.Eyang nampak kurang terawat, walaupun kain dan kebayanya selalu rapi.Eyang hanya tinggal berdua dengan pembantunya yang setia.Itupun sudah sama tuanya.Kita sudah menganggap saudara.
Sosoknya memang sudah renta.Tapi gurat-gurat di keningnya  adalah sejarah yang menyimpan makna.Setiap aku menatap  matanya, tergambar jelas sosok perempuan yang sabar, bijak dan pasrah.Aku seperti menemukan kedamaian  pada kilauan sorot matanya .Yang tak ku temukan sebelumnya.
 Eyang terdiam menatapku.Entah apa yang dipikirkannya.Aku sedikit takut karena eyang sangat mistis.Aku takut semua pikiranku terbaca olehnya.Pikiran yang dipenuhi  pertanyaaan yang saling bertumpuk  tentang  Tuhan, hidup dan mati.Dengan saling diam kami berdialog dan  Eyang sudah menjawab pertanyaanku dengan bijak.Aku tak perlu lagi harus gelisah atau resah segalanya telah terjawab oleh sorotan matanya yang sejuk.Semesta menyaksikannya.
Zaman telah berubah serupa kita tak akan  bisa mengubah waktu.Sebab tua telah menjadi  warisan bagi setiap yang bergerak.Hanya Tuhan yang selalu baru meski waktu telah menjadi tua dan kuno.Usia yang menua seperti memancarkan peringatan  bagi pongahnya waktu.Ya semua yang di ciptakan pasti akan menua dan lenyap.Itu Sudah kehendakNya.Aku sudah tak ingin banyak mempertanyakan mengapa dan kenapa?Ada jawaban yang tak perlu di jawab.
Malam tenggelam seperti derit pintu yang enggan menutup.Aku meraba kulit Eyang. Kulit yang sudah keriput dan menciut seperti mau terkelupas dari tulangnya.Aku sedih sekali.Wujudnya hampir serupa jerangkong. Lembek pipinya seperti lemper kedinginan.Matanya serupa kabut yang bening dan berselaput, 26 tahun yang lalu aku masih berdendang di pundaknya yang kokoh dan  kini berubah menjadi kulitnya yang bertumpuk-tumpuk.
Tangannya yang kurus berselaput kulit tak kuat menahan rokok keretek ditangannya.Eyang masih suka merokok.Abu rokok berjatuhan karena tangan penopangnya yang tak sempurna, memegang rokok yang tak seberapa beratnya.Setiap hembusan rokok yang keluar dari mulutnya, membentuk lingkaran samar, seperti mengisaratkan kehangatan, yang di sodorkan pada setiap bijak kata. yang hampir surut oleh karamnya malam.Aku tersenyum.Eyang tersenyum.Hanya isyarat yang menyatukan kami karena Eyang sudah tak bias mendengar.
Kami berrdialog dalam hati.Hanya senyum dan anggukan yang ku lihat.Matanya seperti tak lelah bercerita.Tentang ramainya truk-truk bermuatan batu dan pasir.Jalan-jalan yang semakin rusak dan bolong.Hilir mudik kendaran proyek pembangunan pasar dan kota kecamatan Juga burung-burung tikukur dan piyik yang berterbangan tak tentu arah, karena sarang-sarangnya yang menempel pada pohon  hancur ditebang.Terdengan suara dentuman seperti petasan, atau bahan peledak yang sedang memporak porandakan bongkahan batu.Batu Kudakah?Batu panjang berbentuk kuda.Aku sangat tertarik sekali dengan batu itu, tapi menurut masyarakat kampung batu itu  yang  tak jelas, menghalangi jalan dan perlu dihilangkan.
Aku tersentak.Jangan dihancurkan! Bukankah menurut Eyang batu itu adalah jelmaan kuda sembrani. Yang ekornya tersangkut di tebing yang curam saat akan  menyebrang dari gunung Lemo menuju gunung Peuntas.? Lalu menjelmalah menjadi batu. Maka sejak saat itu  kampung ini di beri nama Pasir Kuda.
Apakah masih ada cerita kuda sembrani itu menjadi identitas suatu desa yang bernama Pasir kuda?Atau itu hanyalah karangan Eyang agar aku cepat tidur sebab malam sudah larut dan eyang kehabisan cerita? Atau masyrakat sudah lupa sama sekali karena sibuk dengan kerjaan? dan  cerita hanya membuat orang-orang menjadi ngantuk?
Tapi aku masih merasakan bahwa batu Kuda benar-benar cerita nyata, tak penting benar atau tidaknya. Tapi batu itu seperti menjembatani kedekatan bathinku dengan eyang dan jika dihilangkan dan dihancurkan sebagian keping hatiku seperti hancur.Ah..apakah ini berlebihan? Atau semata karena  perasaan cintaku pada kampung ini? Atau cintaku  pada masa laluku dengan eyang? Tak jelas tapi bagiku ini menyakitkan.
Kulihat raut muka Eyang sedikit muram, pasti Eyang merasakan hal yang sama denganku.Kadang kesepakan  tak perlu dikatakan, tetapi mata hati yang akan menjawabnya, kemudian seluruh organ tubuh akan sepakat juga.Kata-kata sudah tak berguna saat itu.
Eyang memonyongkan bibirnya yang nampak seperti garis lengkung yang timbul, kepalanya menggeleng pelan  pertanda tak setuju.Aku Mengiyakan.Kenapa demi pembangunan harus  menghancurkan peninggalan sejarah? Anggap saja itu situs yang harus dilindungi.Apa pemerintah setempat tak sadari itu? Bagaimana dengan generasi selanjutnya jika hidup tampa sejarah?
Tapi mungkin ini hanya mitos saja.Tapi mitos juga bagian dari sejarah. Segala yang diciptakan itu punya cerita dan  kaiatan dengan kehidupan selanjutnya.Inilah bukti peradaban.Ups.. aku menarik nafas.Aku tak ingin berfikir dulu kenapa dan mengapa?Aku hanya ingin bersama Eyang. 
Tetapi orang kini lebih membela perut daripada sejarah.Lagipula mungkin mereka tak tahu yang sebenarnya, karena kebodohan atau kemalasan. Jadi bisa saja, batu-batu dianggapnya batu biasa, yang harus dihancurkan toh,,,jalan menjadi lebih lebar dan batu-batunya bisa dijual ke mandor proyek.Uangnya bisa untuk makan dan menghidupi anak istri.Hidup itu memang harus berani, kadang dihancurkan atau menghancurkan, dan itu bukan lagi bahasa baru.Eyang mengangguk-angguk.Aku kut-ikutan juga.
Mengapa setiap hal yang kuanggap janggal, selalu menjadi pemakluman buat eyang dan serta merta aku seperti di bimbingnya untuk memahami sisi lain.Sisi  yang sulit ku pahami atau bahkan aku malas untuk memahami.Mungkin juga aku terlalu banyak bertanya mengapa dan kenapa yang akhirnya bukan jawaban yang ku dapat melainkan persoalan baru yang makin berkembang.Aku ingin seperti Eyang  yang tenang, santun, tidak grasa-grusu, lurus melihat orang, tidak berpersepsi, tidak emosional, rendah diri dan  bijaksana.Tapi apa masih relevan di kehidupan yang sekarang?Ya relevan-relevan saja! kebaikan itu selalu relevan!
 Apa kabarnya dengan Saung Ranggon? Aku mengusap tangan eyang, abu rokok yang menempel di sana, eyang lambat sekali menyekanya.Aku takut abu itu masih mengandung api dan api itu bisa melukai kulit eyang yang sudah rapuh.Aku meniupnya, seperti meniup busa sabun, berkali-kali sampai bibirku monyong.Aku kembali duduk.
Kami menatap bukit lebat yang kini sudah terlihat memerah, pertanda pohon-pohonnya habis di tebang. Kemudian ditanami lagi oleh warga, tak jelas tumbuhan apa, karena jarak yang jauh dari pandangan mata kami. Yang nampak hanya  gundukan hijau kecil di sela-sela tanah yang merah.Alis eyang seperti mengernyit mencoba mengingat dengan sangat keras, tiba-tiba ia terbatuk.Aku kaget.Ada apa dengan saung itu?
Saung itu terlihat menyeramkan tak ada orang yang berani lewat kesana sendirian.Hanya orang –orang yang kebetulan lewat saja ,para pencari  kayu bakar atau peternak yang mengambil rumput yang berani kesana. Kata eyang dulu banyak yang meninggal disana karena kelaparan saat pagar betis Zamannya pemberontakan PKI .Gerombolan tak bisa keluar dari hutan karena dikepung massa.Mereka kelaparan dan mati di saung itu.Tapi itu sudah lama sekali sekitar tahun 66an sekitar 44 tahun yang lalu.Apa orang-orang desa ini masih ingat?
Dulu aku sering ditakut-takuti hantu saung ranggon jika aku nakal.Apa masih cerita itu ada? Apakah anak-anak sekarang dikampung ini takut dengan kisah saung ranggon? Biasanya cerita mistik lama berakar di masyarakat ketimbang sejarah.Aku mesem mengingat aku yang sangat penakut sambil memapah eyang ke kamar.Sepertinya Eyang sudah ngantuk.
Aku berbaring di samping Eyang.Saat gundah itu masih mengelana, seperti mencari tempat untuk bernaung, untuk lari dari rasa tersakiti, kehilangan, kesunyian, ditinggalkan, terkhianat, penyesalan, penghinaan, terbuang, tersisih, kalah, hancur, binasa…
Air mata yang tertahun membuat mataku berkantung, malam menyisakan lagu rindu dan maaf pada dengkur tubuh renta disampingku.Kutatap sekali lagi wajah teduh itu, semoga ada pemakluman untukku yang lama meninggalkannya. Senyum bijak itu seperti menyisihkan sekian gundah di hati, semoga aku bisa sepertinya yang lapang dan memaafkan semua derita.21 Mei 2004 ( Subang)


Tidak ada komentar

Manajemen Strategi

Manajemen Strategi Menurut David (2005), analisis lingkungan internal dan eksternal perlu dilakukan sebagai landasan organisasi untuk mene...