Idea-idealy

Create and share all of ideas

Wanita Secangkir Teh Part 1-3

Share:

  1. Cukup Berhak kah?
Ini mungkin sangat tiba tiba, ketika waktu memaksaku untuk masuk kewilayah ini. Dengan penuh ketakutan dan perasaan tak jelas aku menjadikan diriku bagian dari permainan semesta yang sangat kontradiktif dengan hati dan logikaku. Apakah ini bagian dari takdir yang Tuhan gariskan atau ketololan semata yang tak sempat ku pahami. Ketika aku memutuskan untuk menjadikannya bagian dari sejarahku, maka alasan yang pantas adalah membiarkan hidup berjalan sewajarnya tanpa penjelasan. Jika hanya alasan yang bersumber dari pertanyaan mengapa, manusia sudah terlalu pandai membuat alasan dengan logikanya, persepsinya, penemuannya atau sekedar bersilat lidah ngibul sana sini. Pokoknya bebaslah itu mah terserah.
Namun memahami dengan sungguh sungguh akan alasan pertautan ini hanya waktu dan kosmos yang bisa menjawabnya. Aku sudah memutuskan untuk membiarkan semua ini mengalir. Aku mohon sudahilah praduga yang siap dimuntahkan orang orang so tahu itu, dengan membiarkan otak dan jiwaku yang datang tanpa sekat dan perantara dari siapapun ini menemukan sisi lainnya. Membiarkan rasa ini mengalir bebas dalam diamnya egoku karena ini urusan hatiku, hakku dan kebahagiaanku. Lalu masihkah aku dikejar bayangan hitam tentang batasan normatif dan attitude status sejarahku sendiri? Biarkan semua ini kuselesaikan karena aku cukup tahu batasan, dan tak bisakah kau alihkan perhatianmu yang nyinyir itu pada hal imajinasi lain, yang bisa melogikakan kalian. Aku laki laki, manusia biasa. Masihkah aku punya hak untuk merasa? Sempatkah aku merasakannya?
Aku berlari lari keappartemennya bayangkan dia sakit siapa yang mengurus semua ini.Selama 1 tahun ia menjadi assistenku, bahkan aku tak sempat menanyakan rumah, pacar atau suami atau apalah apalagi mengantarkannya pulang. Pintunya tak terkunci, ini pukul 8 pagi. Apakah pekerjaanku masih dia selesaikan? Aku terkaget kaget bagaimana mungkin dia bisa mengerjakan semua ini, untuk persentasiku pagi ini, padahal dia juga dosen dan harus mengajar, aku tau jadwalnya yang lumayan padat. Aku tak bisa menyembunyikan sedihku. Assistennya Tiara yang menghubungiku katanya" Selamat pagi Pak Nakta, ibu Mikha kemarin kecelakaan kecil menabrak trotoar jalan ya...sekitar jam 11 malam. Sekarang sudah di appartemen.." katanya. Saat itu aku sedang ada perkuliahan. Jantungku copot mendengarnya. Tetapi ya.. terus mengajar saja karena aku harus bagaimana? Tak mungkin kan aku lari dan meninggalkan mahasiswa yang tengah menatapku dengan penuh curious. Tak ada yang bias menggantikan aku, dan aku sangat menyukai perkuliahan. Rasanya menarik sekali anak anak itu. Mereka penuh semangat dalam berargumen, megeluarkan jurus- jurus teori andalannya, berebut ide menyelesaikan case yang sedang jadi topik pembicaraan. Di zaman yang serba internet ini memang mudah dalam mencari bahan apabila ditunjang dengan keinginan dan support dari lingkungan. Ada perdebatan yang Panjang antara kabur meninggalan kelas atau stay walau kacau balau minimal sampai bahasan abis.
Ya semua ini manusiawi bukan? Hidup tidak hanya melulu mengandalkan logika perlu ada bumbu-bumbu lain yang bisa menggetarkan hati. Jadi Mikhaela ini maksudnya bumbu gitu? Ya tidak juga..ini hanya perumpamaan saja. Seberapa pentingnya Mikha membuat aku berhenti sejenak tetapi kemudian melanjutkan lagi. Aku tak punya banyak waktu untuk memikirkannya saat ini harus menyampaikan materi. Kurasa Mikha sudah baik baik saja, hatiku sudah lama mati, jadi jika ada sinyal-sinyal aneh logikaku dengan mudah mematahkannya.
 Terkadang aku tak paham benar apa itu rasa.Ya sedikit berdebar tapi ini sangat mengganggu logikaku. Segera setelah selesai aku turun kebawah dan aku tak sempat istirahat padahal kelelahan menguntitku.Tetapi malam inipun aku tak bisa menjenguknya, karena dirumah sudah ditunggu, mungkin akan bertanya- tanya kenapa sampe aku telat begini. Pikiranku kacau. Tetapi jika sudah kacau aku mengandalkan logikaku dengan mempertimbangkan efek keputusan yang kuambil Seberapa besar tingkat positif dan negatifnya berikut untung dan ruginya. Ini yang paling parah Mikha adaalah manusia berarti menyangkut Mikha adalah menyangkut kemanusiaan seharusnya sih tidak memikirkan untung rugi lagi tetapi unlimited. Bersikap baik saja toh sudah ada yang mengkalkulasinya.
Pagi sekali aku menemuinya. Aku pergi dari rumah sangat pagi karena tak ingin terjebak macet dan harus mencari alamatnya Mikha. Aku sampai dikamarnya, dia masih tidur kulihat tangan dan keningnya diperban sedikit memerah. Tiara asistennya membersihkan muka Mikha pelan. Aku ingin melakukannya sih sebenarnya tetapi baru bab niat aja aku sudah berkeringat.Entahlah aku tak berani seperti ada tali yang kuat yang mengikat kedua kakiku. Menyentuhnya aku tak bisa. Mungkin juga diotakku sudah terkunci tidak bias. Jadi ya tidak bias, aku seperti patung yang hanya bias berdiri, aku hanya bisa menatapnya kemudian menundukan kepala dan entahlah aku merasa ada luka di jantungku, rasanya sakit dan menusuk tetapi segera kuabaikan.
Di usia yang sudah menginjak kepala 4 aku tak mampu berbuat banyak aku merasa tak berhak juga tak bisa. Aku merasa tak bisa melakukan apapun hal itu. Mungkin karena kondisiku, walau sebenarnya hatiku ingin. Sejak 5 tahun lalu aku mengenalnya sebagai assisten dikampusku itu saja yang aku katakana tentang Mikha. Aku memang aku selalu menjaga citraku, harga diriku, wibawaku dan seantero nilai positif lainnya yang mekekat padaku. Sebenarnya itu bukan mauku keadaan yang mencetakku. Aslinya ya aku begini rupa, manusia biasa aja (gak bertanduk juga).  
Aku bisa disejajarkan dengan dosen pavorit dikampus besar ini. Mungkin karena gelar MBA dan PhD yang ku dapat di Shefield University UK. Tetapi aku rasa juga tidak banyak  lulusan luar negeri disini. Mereka juga berjuang keras sama seperti aku untuk mengejar scholarship. Sebut saja rekanku dosen Marketing yang lolos manis dengan scholarship LPDPnya. Juga beberapa rekan yang lolos AAS melenggang untuk study ke negeri Kangguru. Ada juga yang pake Erasmus untuk Eropa, Nufic Nesso untuk Belanda dan lainnya. Tak kalah hebat dengan rekan-rekan lainnya yang lulusan dalam negeri. Taka da bedanya semuanya bekerja keras.Pavorit.
 Jadwalku padat dari mulai mengajar S1-S3, seminar, conference baik nasional atau internasional, meeting dimana mana, jadwal bimbingan dan sidang mahasiswa, belum lagi harus membuat persiapan materi, jurnal, silabus, quiz, projec yang dikejar dateline dan lainnya, sebareg kunjungan dan konsultasi yang tak ada habisnya, membuat  waktuku habis untuk hal hal yang berhubungan dengan akademisi. Tetapi ini adalah dedikasiku aku begitu mencintai pekerjaanku. Seperti itu keywordsnya.
Lalu seiring waktu disela kesibukan mengajarku yang padat seorang assisten yang baik hati tutur katanya halus, pemalu dan selalu memperhatian dan membantu setiap keperluan mengajarku datang. Dia selalu ramah baik dan iklas membantu, aku tak melihat sedikitpun sikap menjilat atau apapun dalam dirinya. Aku terpana dan menyebutnya malaikat. Ya memang namanya Makhaila. Dia selalu menyiapkan teh untuku. Hal itu yang tak pernah kutemukan pada assis sebelumnya. Ini agak mirip pembantu sebenarnya tetapi itu bukti services yang full. Dia cuek aja melakukan semua itu sampai aku tanya pendidikan historynya dia lumayan juga  lulus undergraduate di salah satu perguruan pavorit di kota ini. Bahkan pernah ambil English Academic Purpose di Malaysia. Sebenarnya aku sedikit kepo nanya- nanya juga kerekan lain.Tapi sambal pura-pura. Gengsi.       
Wanita itu adalah Mikha yang kini ada didepanku. Deg jantungku berdegup kencang. Aku terlalu memikirkan diriku bahkan didepan orang yang seharusnya kuberi empati. Mikha. Tetapi rasanya aku risih atau gengsi harus berbagi hati dengannya.Aku belum bisa menerima ini namun aku merasa memiliki kebahagiaan sendiri mengenai ini. Entahlah seberapa besar energiku bertahan untuk menjaga rahasia ini.Aku cukup lama bertahan dengan rasa ini meski aku sudah menyangkalnya dan membunuhnya.Bagiku ini terlalu membuang buang waktu. Hati yang tak nyaman membuat pekerjaanku tak lancer. Membuat waktu berhenti mendadak dan jantung selalu berdegup kencang.Akupun mulai khwatir akan struk mendadak jika merasakan hal ini terus menerus padahal aku bermimpi mengantarkan anaku yang paling besar untuk study ke luar negeri. Dia ingin masuk ke Glagow of Art karena begitu suka dengan desain. Stop bukan waktunya memikirkan anak. Aku sangat merasa bersalah jika ingat hal itu. Secret. Simpan saja dalam hati.
Aku melihat wajahnya ku sendiri dicermin kamar Mikha yang memanjang sepanjang dinding.Cermin itu seperti mengingatkan aku untuk kembali pada sejarahku. Pagi pagi diapartemen orang mau ngapain coba? Bagaimana kalo ada orang lain tahu? Bagaimana dengan citraku? Aku mulai gila dengan memikirkan harga dan citra. Aku mulai ragu untuk melanjutkan hal ini. Bagaimana mungkin seberat ini  melakukan kebaikan sama beratnya dengan melakukan kejahatan? Kenapa harus takut bukankah menjenguk orang kena musibah itu termasuk ibadah? Tapi kenapa sejak dulu aku selalu merasa takut bertemu Mikha, padahal akupun pernah melakukan hal ini terhadap staff wanita atau dosen lainnya. Lusa kemarin aku baru saja menjenguk temanku lahiran di Hermina, sebulan yang lalu juga salah satu dosen wanita disini sakit dan aku membawakan buah-buahan untuknya.Loh sama aja kan? Hush… ini berbeda aku dating sendiri tanpa buah-buahan dan dipagi buta dengan sembunyi- sembunyi, itu bedanya. Loh bukannya pembeda itu harus ada masa orang sama semua? Memang sih harus ada tetapi disini aku yang mencitakan pembeda itu bukan dengan sendirinya. Nah reason ini yang membuat aku mati kutu. Mungkin karena aku takut akan hatiku bukan takut pada Mikha atau pada apun alas an itu.
Hatiku seperti tersentuh tetapi aku mematikanya. Memang aku tersentuh dan sedih tetapi aku tak bisa melakukan apa apa. Aku sudah terbiasa dengan kelempenganku meski banyak mahasiswa bilang aku baik cakep dan pintar. Mungkin karena gambaran itu sudah cukup, aku tak perlu membuat oranglain menyukaiku. Aku adalah orang yang kaku statis dan lurus - lurus saja,  tidak petakilan atau ramah berlebihan. Tetapi aku memiliki senyum dan wajah yang manis, detail, rapi, sistematis dan cerdas. Karakterku sebagai dosen baik itu sudah pasti. Aku kaget lagi .Kenapa aku terlalu jaim begini? Malah muji- muji diri sendiri didepan mahluk lemah. Ini sangat lebay. Bahkan dihadapan wanita yang tak berdaya? Plislah buang kejaiman dan kenarsisan itu saat ini.
Wajahku tiba tiba nampak pucat aku seperti ingin menangis namun itu juga aku tak bisa.Aku membiarkan asisten itu melakukannya, membersihkan luka Mikha, mengelap wajahnya dengan handuk perlahan. Bahkan untuk melihatnyapun aku malu dan entahlah aku tak bisa. Hatiku selalu tak karuan bertemu Mikha.
Aku duduk disofa yang berwarna putih ruangan ini nampak nyaman, semuanya nuansa putih. Sekitarnya penuh lukisan.Aku tak paham maknanya, ada yang abstrak, natural dengan permainan warna macam-macam,  yang pastinya memiliki nilai dan makna dibaliknya.Tetapi aku tak begitu tertarik menilainya.ya..secara keseluruhan Mikha memiliki apresiasi yang lumayan baik terhadap seni dibandingkan aku. Pandanganku tertuju pada satu lukisan besar yang memiliki komposisi yang berbeda, dengan empat buah lampu kecil berwarna redup menyorot kearahnya. Nampak seorang wanita dengan segala keindahannya yang tertutup kain merah disekitarnya. Lukisan wanita itu begitu menonjol nampak hidup seperti memberi kesan lihatlah aku kemari. Akupun mendekat ingin tahu siapa pembuat nya. Tertanda inisial G. Aku mulai iseng mengartikan inisial G ini dengan Gilang, Gandy atau apa yang pasti bukan aku, karena aku berinisial N. Asem. Kemudian pandanganku terarah pada satu lukisan disebelahnya Aku agak kaget juga, nampak salah satu lukisan yang kukenal namanya. Aku terkaget kaget menatapnya lukisan itu, benar milik salah satu dosen dikampusku dia salah satu orang penting di Fakultas Seni Rupa. Bagaimana Mikha mendapatkannya? Tiba tiba aku merasa takut dengan kondisi tak aman ini. Siapakah Mikha? Sejauh mana hubungannya dengan dosen seniman itu. Bukankah seniman itu cukup terkenal dikampusku juga dikota ini.Tapi kudegar dia sedang pameran di Jerman. Kurasa temanku tahu tentang historis dosen itu. Aku mulai takut jangan-jangan Mikha adalah anaknya atau siapanya gituuu. Keringatku kembali bercucuran, ini pertanda warning. Aku mundur. Aku demikian gugup merasa terancam aku harus segera pergi.Tapi siapa yang bisa melihatku dilantai 25 ini.Kurasa cukup aman. Aku tak mengerti namun aku tahu Mikha memang menyukai seni bukankah dia juga seorang penulis dan menyukai setiap seni pertunjukan? Pastinya Mikha sudah melangkah jauh diusianya yang kepala 3. Aku menundukan kepala.Tetap tersenyum dengan hati yang bertanya.Tiara mengagetkanku. Aku tersenyum kearahnya. Impovisasi. Aku mendehem dan memicingkan mata, berdialog dengan Tia.
"Pak Nakta apakah mau saya buatkan teh atau kopi atau apa pak..?" Katanya
"Boleh teh saja." Kataku gugup. Tiara berlalu. Aku tak bisa lama lama disini. Aku menyeka keringat yang mengalir di dahiku. Aku seperti dikejar kejar bayanganku sendiri. Rasanya sangat menakutkan mungkin lebih menakutkan dari sidang manapun bahkan sidang disertasiku ku tempo hari.
"Tiara, Mbk Mikha masih lama tidurnya? Kalo begitu ruang kerja dimana biar saya ambil data saya.Tolong ya." aku meminta izin pada Tiara.
" Bapak tidak menunggu Mba Mikha bangun? " Tia menyelidik.
"Saya pikir Bapak mau nunggu Mba Mikha, saya harus kuliah dulu pak" Katanya.Aku menarik nafas. Tak bisakah dia menunggu Mikha? Kenapa harus aku? Kenapa tidak aku?.Kenapa kebaikan ini begitu terbatas? Kenapa aku tak bisa melakukannya? Kenapa coba…alah selalu saja teks alasan lewat dan itu mudah untuk aku kendalikan.
" mm..saya ada jadwal jam 9. Bisakah yang lain? Atau saya minta tolong Tiara disini saja." Tiara menatapku. Dia seperti mengatakan sesuatu dengan gelengan kepalanya.Dia berjalan kesebuah ruangan yang tidak terlalu jauh. Mukanya ketus.
" Ooh soalnya sendirian sih" Katanya pelan. Aku menatapnya sekilas. Sendirian? Apakah mungkin dia hidup sendirian. Mungkin jauh hingga tak bisa menjenguknya. Wanita hidup sendiri rasanya itu tak mungkin. Aku hanya bilang oh..sambil mengaggukan kepala. Lagi lagi Tiara menatapku.
Ada rasa aneh yang dia sembunyikan terhadapku.Tapi aku harus bagaimana.Aku memang tak begitu kenal Mikha urusanku hanya pekerjaan saja.Aku dan dia sepakat untuk itu karena hanya itu yang bisa kami lakukan.Terus harus bagaimana? Aku harus menangis atau menginap gitu disini? Ini sungguh keterlaluan.Tetapi keterlaluan yang sering aku lamunkan. Rasanya aku bingung. Ya coba tolong bantu ya aku harus bagaimana?
" Oh..ayo pak disini ibu biasa kerja. Tapi saya gak tau kalo data." Tiara mengantarkanku pada ruangan yang tidak seberapa jauh dari sofa.Masih bernuansa putih. Banyak buku buku diraknya. Sepertinya dia suka koleksi buku. Ada beberapa lukisan wanita dan bunga. Sentuhan feminimnya terasa. Aroma bunga sedap malam dan cermin yang terbentang memanjang membuat aku merasa seperti diruang dosen gedung perkuliahan. Mikha benar- benar memperhatikan kenyamanan dan sisi kewanitaannya yang cukup berselera.
Aku duduk di tempat kerjanya. Memperhatikan sekitar. Nampak jendela yang terbuka dengan gorden berwarna putih. Pasti jika malam tiba Mikha bisa melihat keindahan kota dari sini. Aku tertarik untuk menengok ke luar jendela diluar nampak ramai namun tidak begitu gaduh. Mikha pasti sering duduk disini dan menatap keluar jendela. Hm..seperti yang sering kulakukan dikantorku. Aku suka sekali mengintip keluar jendela menatap pada kekosongan sekitar sekedar merefresh pikiran. Berpikir kemudian menuangakan pikiranku pada pekerjaanku, rasanya otaku kembali segar.
Mungkin Mikha begitu. Aku berfikir keras bagaimana wanita ini begitu menyukai kesendiriannya.Tak kutemukan lukisan atau photo laki laki di ruangan ini selain photo keluarganya.Itupun hanya ayah ibu dan sodaranya yang disimpan secara terpisah.Lalu bagaimana Mikha bisa menjalani kesendiriannya ? Mungkin dia menyembunyikannya karena aku tak tahu pasti. Aku membuka laptopnya mencari cari data kerjaanku. Namun aku belum menemukannya.Yang kutemukan catatan pribadi Mikha.

2.Mata Yang Sama

Aku melihat dia untuk pertama di ruang besar perkuliahan umum. Aku datang sebagai staff assisten beberapa dosen utuk menyiapkan keperluan mengajar juga terkadang mendampingi jika dia memerlukan sesuatu. Aku menghargai dan melayani dengan penuh perhatian siapapun itu dosennya. Dari mulai dosen tua yang cerewet, dosen yang baik, dosen yang sopan, dosen yang religius, dosen yang ingin serba dilayani, dosen sombong, dosen senior, dosen yang pura pura baik, dosen yang mody, dosen junior dan lainnya. Aku tak pilih pilih orang, aku begitu memenghargai dan bersikap baik seprofesional mungkin. Bagiku ini pekerjaan standarny sama, hanya aku memiliki kebiasaan lain setiap apapun yang kusentuh hatiku ikut tersentuh. Aku mudah tersentuh terlebih dengan kebaikan entah itu kebaikan yang tulus atau hanya sekedar pura pura baik. Bagiku membantu adalah kebahagianku.Tak ada rasa terpaksa atau lelah aku melakukannya dimanapun itu. Hatiku tak bisa tenang jika tak bisa melakukan apapun untuk orang lain.Sekalipun untuk staff sepertiku tak perlu turun begini, segala tinggal angkat telepon nyuruh OB,CS, beres tetapi aku bahagia dengan tanganku bisa melakukannya.
Sore itu perkuliahan masih ramai, aku slalu stanby jika pada suatu saat ada mahasiswa atau dosen yang memerlukan sesuatu.Aku merasakan kebahagiaan tersendiri melayani mereka yang terkadang waktuku habis untuk mengerjakan hal hal yang itu itu saja.Aku sedang serius dengan pekerjaanku ketika ku terkaget kaget dengan kehadiran seseorang. "Sore bapak ..ada yang bisa dibantu?"Aku mendongakan kepalaku menatap siapa yang datang.Deg lama aku menatapnya.Aku menatapnya seperti orang kebingungan mungkin tidak sopan tetapi aku sulit mengendalikan kekagetanku ini.Aku terpana pada kedua matanya. Mata itu begitu indahnya, kecil namun hidup.Wajahnya setengah lelah dengan beberapa keringat di dahi, senyumnya tulus tetapi itu tak penting.Meski mata itu berada diantara 2 kelopak yang lelah tetapi nampak berkarakter diringi dengan senyumannya yang sangat teratur dan cukup manis.Mata itu menatapku .Mata yang penuh makna.Mata yang memiliki sinar keajaiban yang mampu menyedot setiap dinding hatiku untuk membukanya.Mata itu seperti magnet yang menahan setiap denyut jantung untuk berhenti.Mata itu laksana panah arjuna yang siap menusuk hati Drupadi untuk lepas dari kebekuannya.Mata itu memiliki energi magic yang melemparkan aku pada jejak tampa sejarah.Aku merasakan pancaran matanya seperti sependar cahaya halus yang sejuk dan kuat, seolah tak perlu banyak kata untuk membahasakannya.Energi positifnya mampu menghilangkan ketakutan, kemarahan, kebekuan, kekakuan, kesakitan, bahkan kekosongan.Bagaimana mungkin seseorang memiliki itu semua? Kenapa ada padanya? Aku menatapnya seperti dia menatap mataku.Aku menyembunyikan ini semua berusaha mengendalikannya.Aku sangat tak nyaman dibuatnya.Bukan karenanya tapi karena matanya  mengacak ngacak  hatiku.Bagaimana dia memiliki kesempurnaan ini.Adakah ditempat seseram ini manusia yang memiliki mata yang cukup bagus. Aku sudah lama memencari pemilik mata ini.Mengapa sama?Apakah Tuhan sudah kelelahan membuat aku menunggu? Apakah Tuhan sudah bosan denga sikapku yang apatis dan tak mau tahu? apakah Tuhan sedang kasihan melihatku? tapi ni bukan dia.Dia yang pergi 10 tahun lalu meninggalkanku tampa jejak, meninggalkan luka yang hampir berkarat dihatiku.Lukanya membekas mencabik cabik setiap nafasku dengan tanpa berkesudahan.Entahlah sampai kapan waktu bsa menghapusnya.Aku mencoba tersenyum dan mengucapkan terimakasih.Kurasa dia tak perlu tahu alasanku menatapnya.Kutatap sekali lagi dia sedang membelakangiku aku masih tak menyangka ada orang yang memiliki gestur tubuh sama tinggi dengan  memiliki karakter sikap yang sama diam dan sangat berhati hati.

Aku tak bisa mlihatnya lebih lama.Selanjutnya aku terdiam dan mencoba menutupinya dengan berlagak sibuk keluar ruangan.Aku menutupi degup jantungku yang tak karuan , aku tak tahu harus kemana saat itu yang penting aku pergi darinya, ku menuruni tangga satu persatu, menghitungnya dengan jantungku yang tak selesai berdetak.Aku tak berani mengangkat kepalaku padahal tak ada satupun orang yang memperhatikanku.Hanya ada beberapa mahasiswa yang berpapasan ditangga denganku, senyumku mengembang pada beberapa mahasiswa yang berpapasan dan aku tak bisa sembunyikan lagi bahagiaku diantara kebingungan dan kesunyian ditempat ini.Semuanya seperti melayang, seperti melambung, seperti terbang tanpa arah.

Aku mengurung diri di kamar mandi menatap diriku dicermin besar.Lama aku terpaku, seperti tak mengenal diriku sendiri.Tak percaya aku dan hatiku masih bisa tersenyum.Setelah mengalami kebekuan yang panjang Aku mencoba menyatukan bayang bayangnya dengan bayang bayangku yang sempat mati karenanya.Ketika kutahu dia bukanlah seseorang yang berlalu, dia bukanlah seseorang itu.Karena ini tak mungkin.Aku tak peduli.Aku juga tak peduli apakah dia tahu atau tidak terhadap detak yang kurasakan, aku tak peduli apakah dia hanya menganggap aka pesuruh atau apapun itu.Itu tak penting.Bahkan aku sudah tahu siapa dia berikut latara belakangnya.Aku hanya peduli pada rasaku tak penting dia tahu atau tidak toh tahupun dia tak akan bisa berbuat banyak.
Aku hanya ilalang dipadang tandus.Karena aku ilalang aku tak begitu diperlukan.Keberadaanku hanya sebentar dan ada saja disini terlalu berlebihan jika ku menuntut dianggap atau diberi makna.Sudahlah aku bisa meanjaga ini semua.Aku seperti menemukan nafasku padanya.Rasanya tatapan mata itu sudah sangat dekat kurasa.Hatiku tak bisa lepas dari mata itu.Aku melihatnya sempurna.Aku memandangnya lengkap.Seperti apa yang ada di khayalku.Tentang mata dan suaranya ,mungkinkah dia sama seperti seseorang yang sangat berambisi terhadap pekerjaannya.Mungkinkah dia sangat detail dan perpeksionis?Mungkinkah dibalik diamnya dia sangat pemarah?aku menarik nafas lambat sekali mungkin  ia tetapi mungkin juga berbeda.Aku tak begitu mengenal pribadib dia, yang kutahu dia orang baik.
         Aku masih mengingatnya betapa dulu aku disibukan olehnya. Saat itu dibalik karya serta idenya akulah penyeimbang diantaranya hingga seseorang itu menghilang tanpa jejak, tanpa kabar  dan  tanpa sejarah. Meninggalkanku dengan sekian tanda tanya.Dengan sekian luka dan nestapa. Dengan sekian kesedihan yang hingga kini tak kunjung sembuh dan tak pernah tahu bagaimana cara menyelesaikannya.Aku belum mampu mengeksekusi rasa ini bahkankan meski banyak pengganti.
" Halo Ibu..wah lagi apa bengong.Udah cantik kok..beneran cantik ibu teh..Kulit putih halus, baik..pokokna mah pasti si aanya jatuh hati deh.." Hah aku terkaget kaget.Mbak Neni aku tersenyum petugas kebersihan yang sangat teliti dia sangat rajin ramah dan baik hati.Aku tersenyum.Pura pura merapikan blazerku gengsi rasanya kalo ketahuan sedang memikirkan laki laki apalagi yang kupikirkan dia.Laki laki setengah baya yang sudah beristri pula.Ini konyol dan sangat menyedihkan.Kenapa? Hati ini yang menciptakan Tuhan, jadi salahkan Tuhan begitu? Wah naif benar cara berfikirku ini.
" Mbak Neni bisa aja..mm saya gak nyaman dengan baju ini" Kataku menutupi kegugupanku.Mbak Neni tersenyum menatapku.
" Bu berarti ada 4 dosen ya yang ngajar makanan udah disiapin diruangan.Tapi bu Pak Nakta dibawa pulang katanya.." Mbka Neni melaporkan.Aku mengagguk.
" Terserah aja yang penting semuanya udah kita siapkan.Jangan sampai mereka komplain hanya gara gara makan malam" Aku menatapnya.
" Ibu kok baik banget sih..perhatian." Lagi lagi dia menggodaku.Mbak Neni sudah kuanggap teman disini karena dia perhatian dan sangat ramah juga bisa diajak kerjasama dalam segala hal.
" Itu biasa mbak.Kita harus baik pada siapapun" Aku tersenyum meninggalkan Mbak Neni yang masih menatapku.Aku menunduk. Kebaikan perlukah? Aku masih bingung dengan julukan yang melekat padaku sebagai asisten yang baik.Mungkin ia aku baik karena hatiku mudah tersentuh tetapi mereka tak tahu kalo aku sangat tertutup untuk urusan hati.Terkadang kebaikan saja tidak cukup aku terjebak dengan kebaikan ini.Mungkin karena kebaikan ku ini begitu mudahnya orang mempermainkanku bahkan perasaanku juga harga diriku.Aku menarik nafas.Kebaikan?Perlukah?


3.MATAHARIKU
Ini hanyalah perumpamaan atau persepsi yang kupelihara untuk ku nikmati sendiri.Mungkin bisa jadi sejarah atau kebohongan sama sekali.Ini harus kusimpan sendirian.Ini adalah pertemuan yang sangat singkat dan rahasia .Ini akan menjadi kenangan yang kusembunyikan rapat rapat bahkan tidak untuk diketahui sebelah hatiku sendiri.Aku menatapnya untuk kesekian kali pada situasi gelap dan sunyi.Mati lampu.Aku panik bukan main.Bagaimana dengan kelas yang sedang berlangsung dan sekian komplain dari dosen dan civitas.Aku tak bisa apa apa, aku tak punya persiapan untuk megatasi semua ini.Pihak Maintenence juga tak tahu akan mati lampu.Tak ada kata yang bisa ku kulantunkan selai mohon maaf.Aku. menaiki tangga tergesa masuk ke ruanga kelas besar.Mahasiswa berkerumun sepertinya sedang persentasi case group.
" Bapak mohon maaf mati lampu mendadak tidak ada persiapan" Kataku memelas.Dia menatapku biasa saja tidak marah juga senang.Mukanya lurus tampa ekspresi.
"Tak bisa pindah ke ruang lain? Sepertinya ruang sana tidak mati." Dia menatapku.
" Tidak pak.Ruang besar dipake seminar pak..sampai malam.Pesertanya banyak dari beberapa angkatan." Aku berkata halus.Dia terdiam.Aku tak tega.Dia mengangguk angguk.Aku menunduk.
" Okay..gak papa saya 30 menit lagi beres" Dia terlihat jaga wibawa berlalu ke kelas.Aku pun berlalu.Dibawah sunyi.Aku terbengong dengan kaki yang memar karena terjatuh ditangga, hak sepatuku tak sanggup diajak berlari sementara hati dan otaku melonjak terlalu cepat dipenuhi rasa kekwatiran.Aku kwatir dengannya yang sedang ada kelas. Khwatir pada kelas atau pada mahasiswa atau pada dosennya aku tak tahu.Tetapi aku khwatir. Aku tak ingin berantakan. Semua ini aku lakukan hanya karena aku ingin aman. .Ada perasaan kosong tetapi entahlah dimana perasaan kosong itu. Aku tak mampu menyembunyikan rasa ini.Aku menatap layar monitor menarik nafas panjang, dalam gelap aku bisa tahu kalo aku sangat lelah.Apapun itu alasannya aku hanya wanita saja, perempuan saja, assisten saja, bukan sesuatu yang hebat dan superhero yang bisa merubah gelap menjadi terang. Hanya ada doa yang mengantarkanku pada sedikit kelegaan semoga semuanya akan baik baik saja.

Sunyi yang mengantarkanku pada sakitnya luka pada hati dan kakiku. Luka itu menekan jantungku hingga seluruh aliran darah menyebarkannya kesemua bagian organ tubuhku, perut, usus, payudara, paru-paru ,tangan, bibir, telinga, hidung, hingga mata. Secepat itu pula luka membuat aliran bening pada kelopak dua mataku. Kesimpulan dari semua ini, kunamakan saja air mata.Ternyata aku tetap saja perempuan. Menangis walaupun sembunyi- sembunyi. Perempuan yang tak begitu saja lupa pada sejarahnya yang memahami takdirnya sebagai garis yang tak bisa dirubah , meski berharap dimakan karat waktu, atau dihanguskan api masa, agar hidup bisa dimulai dari nol, tetap saja setiap kenangan buruk menghadirkan tangis.
" Mbk Mikha..ini sudah beres ya." Deg jantungku berdetak kencang. Kenapa dia datang sekonyong konyong. Dia pasti melihat mukaku dan mataku yang sedih. Ini tak boleh terjadi. Dia tak perlu tahu keadaanku. Aku menatapnya. Dia menatapku. Kami bertatapan. Aku menatapnya dengan sejarahku dan dia menatapku dengan sejarahnya. Ini ajaib .Bahkan dalam gelap aku masih bisa melihat sorot matanya yang menusuk, cahaya  mata itu indah sekali terang dan jelas, rasanya seluruh ruangan ini terang benderang oleh sinar sinar matanya. Wow aku takjub. Cahayanya seperti membentuk siluet senja yang sedikit tersembunyi diantara batas langit, kemudian muncul dan hilang begitu saja dibalik awan. Aku terbengong. Segera sadar ini bukan cerita dongeng, ini nyata, manusia ya betul dia manusia bukan malaikat tanpa sayap yang sering aku khayalkan. Aku tersenyum menyembunyikan luka yang aku juga tak tahu sebegitu besarnya pesonanya hingga luka ini hilang begitu saja. Rasa ini seperti sempat kurasakan 10 tahun lalu ketika aku menjadi Stage Manager pada pameran tunggalnya, semua ruangan mati, crew sibuk dan panik takut akan hal buruk terjadi. Mereka segera menyalakan lilin, HP dan meminta tim produksi melindungi semua barang di galeri. Saat itu aku tak bisa apa apa hanya menatapnya dengan doa. Lalu dia menenangkanku lewat sorot matanya. Bahwa dunia tidak akan berhenti berputar dengan mati lampu. Jangan konyol pliss..biasa aja.

" Kenapa Mbak.." Dia menatap kakiku kemudian mukakaku. Aku tersenyum dan menunduk, malu rasanya. Kuharap ada keajaiban seribu kunang- kunang dating untuk menutup mukaku. Tapi gak ada juga tuh kunang- kunangan. Hm,,,
" Cuma kesandung , gelap soalnya,  nanti juga sembuh. Ayo Pak silahkan duduk. Mau saya buatkan teh.."Aku berjalan dalam gelap meski kaki ku terasa.sakit. Ini kebiasaanku sejak dulu selalu bersikap ramah full service. Apalagi yang ini haduh rasanya aku seperti disihir untuk melakukan yang terbaik. Mereka itu penting dan aku ini gak. Gak penting penting sama sekali. Apa?Aku gak penting? Yaampun aku menggelengkan kepala. Ini parah ya logika dan hati tolong jangan berdebat saat ini suasananya sedang butuh kekompakan. Tetapi tidak bisa mereka saling serang dan menyalahkan dalam diriku membentuk satu potongan percakapan pendek tanpa judul. Si logika ini ngotot banget “ Kamu gak  penting sama sekal ingat itu! Kalo emang penting kenapa kamu ditinggalkan dan diabaikan??” Kenapa begitu mudah hidupmu dipermainkan? Kenapa?” Si hati makin terdesak “Ah sudahlah.... masalah kepentingan itu relative, Lagian aku yang membuat dia meninggalkan ku” SELESAI.

"  Hm..boleh. udah gk papa.. Saya sendiri" Katanya dengan tergesa, menuju ruang kopi. Aku mengekor dibelakang. Gelap banget ni ruangan.
" Oh gak papa pak..bapak terangi saya aja..biar saya bantu.." Kataku dia mengikutiku bingung. Gelap semua, namun anehnya aku masih bisa bekerja, menyiapkan gelas ,teh dan gula semua itu tak tertukar meski gelap menyelimuti ruangan ini. Mudah saja karena ada cahaya lain disini, yang lebih terang dari cahaya manapun. Dia adalah  matahariku, cahaya kehidupanku saat ini. Aku bahagia dengan penemuan ini, ternyata mata hatiku tak mati. Ada dia matahariku. Aku masih bisa melihat cahaya itu, meski dari cara yang sedikit lain, dalam jarak dan kondisi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku percaya pada semua ini bahwa mata hati itu ada, ada dimana- mana hanya saja butuh cara untuk bisa merasakannya. Matahati itu perlu diasah untuk mengasahnya mungkin hanya diperlukan ketulusan dan keyakinan. Mata hati itu lebih tajam dan tak perlu cahaya untuk menunjukannya. Tidak perlu penunjuk, guide atau sejenisnya. Kehadirannya yang bisa membuat hatiku yakin dan dialah sumber cahaya itu. Dengan segenap perasaan dan halusinasi yang tercipta aku selesai juga membuatkan teh untuknya, aku mempersilahkan dia untuk menikmatinya. Dia tersenyum menyambutku, akupun senang telah melakukan sesuatu. Saat ini aku hanya ingin merasakan tak perlu pikirkan atau bertanya apalagi diskusi tentang teh ini. Dijamin pasti enak dan manis. Semanis senyumku untuknya di sore hari ini.
" Mohon maaf kalo tidak enak..keadaannya gelap" Aku menundukan kepala.
“ Oh cukup baik. Terimakasih" Katanya kemudian kami terdiam, mencoba membaca dan menyimpulkan pikiran masing masing. Aku juga bingung harus bicara apa. Nampak kami saling memperhatikan. Aku menunduk pura pura sibuk dengan membuka- buka absensi kelas hari itu. Padahal kan gelap mana mungkin bisa kubaca? Tapi ya pura- pura aja. Bingung. Dia melihat wajahku demikian detailnya. Dia memperhatikan aku dari ujung rambut sampai ujung sepatuku dan kaki yang sedikit membengkak. Aku menganggukan kepala. Dia kaget dan menganggukan kepala juga.

Aku tak tega dengan kelelahannya juga rasa bersalah karena tak bisa memfasilitasi ruang pengganti untuknya, yang menyebabkan proses pembelajaran tak kondusif. Sehingga empatiku tumbuh begitu saja melihat kebaikannya dan keluasan hatinya, membuat aku menempatkan dia pada urutan pertama sebagai orang penting. Jangan salahkan aku karena hal ini, mugkin karena aku pernah menemukan ketakramahan dosen dosen lainnya yang begitu mengaggap aku pesuruh dan komplementer. .Itu tak masalah bagiku. Menganggap aku kacung atau jongos juga boleh asalkan tidak mengaggap aku wanita penggoda aja. Karena aku tidak begitu. Bukankah waktu telah banyak membawaku pada pertemuan- pertemuan? Pertemuan yang sengaja atau tidak sengaja. Pertemuan penting atau pertemuan yang tak penting. Setiap pertemuan selalu menghadirkan cerita yang berbeda tetapi tidak setiap pertemuan itu yang tak kubuat ceritanya. Terkadang aku membiarkan waktu melewati begitu saja, aku tak ingin membuat sejarahnya. Aku membiarkan semua berlalu dan disapu angin. Hilang tanpa makna.Lenyap begitu saja. Terkadang aku berfikir itu hanya membuang- buang waktu. Penting dan tidak penting begitu saja hilir mudik di ingatanku, keduanya siap berganti peran untuk dilanjutkan atau dihentikan. Beberapa orang mengatakan aku adalah wanita baik, aku halus dan suka mengalah tetetapi sebagian orang lagi bilang aku adalah wanita judes dan pendendam. Hm….mungkin ia tapi itu cuma proteksi agar orang  jangan sampai berpikir bisa memperlakukan aku seenaknya. Aku bisa sangat marah dengan kondisi tertentu tetapi juga bisa sangat baik. Tetapi dibalik itu aku benci kemarahan juga kesedihan. Jika keduanya terjadi, aku sering menghindar kemana saja, bukannya menyelesaikannya. Entahlah mungkin sedikit pengecut tetapi aku tak ingin terlihat lemah. Aku wanita biasa yang juga memiliki hati, dan bukan makhluk asing sederajat alien atau makhluk astral yang berasal dari Planet Mars, atau makhluk kasat mata dari dunia lain. Aku wanita dengan segala tingkat sensitifitas yang tinggi dan aku wanita dengan segala identitas pembeda yang melekat ditubuhku, jadi sudah dipastikan aku juga memiliki hati untuk mencinta dan dicinta kemudian  ber keluarga dan melahirkan. Selesaikah? Kurasa tidak. Banyak hal yang kupikirkan. Mungkin jika hanya itu tujuanku, mungkin aku sudah melakukannya sejak dulu-dulu. Namun itu bukan hal mudah untuku karena hingga saat ini aku belum bisa menyelesaikannya alias masih sendiri. Aku menarik nafas panjang menatap lukisan abstrak yang terpampang di depan ruangan, lukisan itu begitu nyata karena kewanitaanku ini begitu nyata, setiap lekuk tubuhku menyangga setiap inci bagian tubuh yang lainnya, hembusan aroma nafasku cukup membiuskan kemelankolisan karakterku, dan degup jantung yang melekat pada setiap titik nadiku, mengantarkan sebuah identitas yang beda pada setiap bentuk dan fungsi. Aku memiliki semua itu. Apakah pembeda ini yang membuat mereka hilir mudik memperhatikanku? Aku sudah menyadari sepenuhnya akan dampak kesendirian ini. Ini hanyalah masalah persepsi. Lalu salahkah aku dengan perasaan ini. Aku lama sekali menunggu rasa ini. Jadi Kumohon beri pengertian pada ku. Aku tak pernah meminta janji untuk apapun. Tetapi aku tak pernah bisa mengingkari kekagumanku ini, mungkin ini  teramat mencolok dan aku gagal merahasiakannya. Hingga membuat mereka curiga. Curiga tanpa keputusan yang usai. Berlalu dengan tatapan yang menyelidik bahkan balut keanehan yang tertumpah begitu saja, tampa kompromi atau konfirmasi. Orang orang itu mulain menyiksa psikologisku, membuat kutakut jika aku bicara dengan dia. Aku menunduk menahan sakit. Mereka menanam ladang perih dihatiku. Mereka beramai ramai memupuk isyarat untuk menyabotase hatiku agar aku mundur, dan sepakat  menuduhku: aku tak pantas seakrab itu dengan dosen yang berdedikasi baik. Apakah hati ku tahu tentang dedikasi? Nama baik? pencitraan? Senioritas? aset kampus? atau apalah yang menggabarkan ketinggian derajatnya. Tentu tidak. Hatiku ini tidak sampai mendekat ke area itu. Jadi kalo aku suka kepada dia. Ini bukan mauku dan juga bukan salahku. Anggap aja ini takdir.

Aku menuju ruang santai mencoba bersikap wajar, tetapi kakiku sakitnya bukan main. Namun aku tak mau terlihat lemah aku tetap tersenyum. Entah mungkin dia kasihan dengan kakiku, karena kepanikan aku tak kontrol. Kami menghabiskan waktu istirahat dengan bicara. Rasanya aku senang melihatnya tersenyum bicara dan saling menatap. Gelap membawaku pada cerita, kapankah waktu mengizikan aku bisa sedekat ini? Bukankah tempat ini begitu seramnya?banyak orang orang pandir yang siap mencercaku disana jika mereka tahu aku melakukan pelayanan ini.Yang menurutku ini biasa dan standar.Aku begitu terpana dan hormat dengan orang yang baik. Meski kebaikan itu hanyalah sebuah strategi murahan sekalipun, aku tak peduli. Itu wilayah Tuhan yang menilai. Urusanku hanyalah melakukan. Aku masih perempuan yang dengan segala keterbatasan pemikiranku yang sangat sentimentil ini berhak merasa menyukai dan mengagumi ditambah dengan catatanku sendiri dimasa lalu. Aku begitu bahagia dengan perbincangan santai ini. Menikmati teh disela kelelahan pekerjaan meski suasana gelap dan ingar bingar aku bahagia. Aku menatapnya dalam remang yang gelap, setiap aroma nafasnya yang teratur meracuniku untuk tetap bertahan dengan rasaku. Aku tak pernah tahu apa yang dia pikirkan tentangku. Begitu pun dia tak perlu tahu apa yang kupikirkan tentangnya. Hidup kita terlalu banyak perbedaannya. Namun tak perlu merasa dibeda bedakan.Setiap api hati memiliki rahasia nya sendiri. Lalu untuk apa kita memaksa saling tahu, bahkan memaksakan diri mengatakannya. Kita sudah cukup dewasa untuk memahaminya atau mengartikannya sendiri. Biarkan ini berjalan dengan sendirinya. Setiap rasa tak penting memiliki nama. Anggap saja ini takdir. Aku dan dia masih terlibat perbincangan yang sebenarnya kita tak perlu tau kualitas perbincangan kita. Terpenting adalah hati kita yang bicara. Aku melihatnya dengan mata dan hatiku dia  sungguh baik. Lalu apa yang orang orang pandir itu lakukan? Mereka rela bolak balik mengawasi aku dan dirinya diruang ini. Orang- orang itu seperti mencekik leherku dan memukul mukul kepalaku membuat kepalaku pusing dan ingin berteriak: "Hei....pergi sana orang - orang kepo.. jangan ganggu kami!" Tetapi aku tidak bisa dan tidak gila melakukan itu. Aku hanya tersenyum dan mengajak mereka:" Ayo...silahkan kita duduk bersama..." Sudah kubilang aku orang baik dan terpelajar (katanya). Semua itu sudah mengkontrolku untuk setia pada status itu, pada batasan dan norma norma. Aku cukup tau harus jaga sikap dan tutur kata. Meski dalam konstruski imajinasi liarku mungkin saja aku ingin duduk berdekatan dengannya tampa jarak sejengkal pun biar aku bisa merasakan dan berbagi  kelelahan yang dipikulnya, menyeka setiap butiran keringat didahinya, memegang tangannya yang terjuntai lemah  dan menyimpan kepalaku dibahunya sekedar melepas penat. Kemudian  menatapnya lekat kepada kedua matanya yang bagus itu, yang nampak berkantung dan sedikit menghitam karena menahan kantuk atau kelelahan.Aku merasa dia adalah sosok yang hilang yang telah kutemukan secara tak sengaja dIsini.Lama kami bicara  seputar perkuliahan dan mahasiswa, pada hal hal yang biasa saja.Namun yang biasa ini sangat berkualitas untukku mengingat waktu begitu sulitnya kukendalikan saat ini.

Dia pamitan setelah mengucapkan terimakasih lalu aku mengatakan sama sama dan hati - hati.Ini biasa saja bisa dilakukan oleh siapa aja.Ini berlaku untuk semua.Hanya sikap ramah tamah.Tetapi yang tak biasa adalah hatiku. Aku menatap punggungnya yang berlalu.Aku tak menahannya tidak juga melepasnya.Aku hanya terdiam. Mungkin dilain sisi hatiku  tengah bertoleransi terhadap sisi hati yang lain.Sisi hati wanitanya dan anak anak yang menunggunya pulang. Hak keluarganya dia. Belahan jiwanya .Kebahagiannya. Semangatnya. Tujuan hidupnya. Aku tak apa apa tak merasakan luka. Semua itu sudah pada tempatnya. Aku menarik nafas panjang. Merapikan meja kerja mematikan komputer. Pulang. Hal itu bukan tak kupahami namun aku butuh energi untuk sedikit berdebat dengan hati dan logika .Berikut aku perlu meresume pembelaan diriku yang lain bahwa aku hanya perlu rasa itu, tanpa mau mengambil apapun dari dia. Jika saja hatiku ada pada orang orang pandir atau jongos sekalipun maka aku pasti merasakan hal yang sama. Ada banyak alasan memang, tetapi aku tak perlu alasan untuk membela diri sepanjang ini hanya menjadi rahasiaku, aku juga tak perlu senjata untuk membunuh rasaku. Semuanya akan baik baik saja tak akan ada lingkaran gelap yang menutupi dunia, atau badai besar yang akan menenggelamkan bumi, semua ini mungkin hanya akan jadi sia sia. Dan suatu saat nanti mungkin akan hanya jadi selembar kisah usang. Kisah yang berharga atau mungkin juga kisah yang akan terbuang oleh takdirnya sendiri. Namun bagiku saat ini, hal ini cukup berharga meski mungkin menurut sebagian orang ini hanya sampah!....bersambung 



























Tidak ada komentar

Manajemen Strategi

Manajemen Strategi Menurut David (2005), analisis lingkungan internal dan eksternal perlu dilakukan sebagai landasan organisasi untuk mene...